css Darmania : Gaya Hidup Guru, Mengejar Penampilan Atau Kompetensi Profesi?

Gaya Hidup Guru, Mengejar Penampilan Atau Kompetensi Profesi?

Profesi guru adalah profesi yang sudah tua, sama halnya dengan profesi berdagang, bertani, menjadi nelayan, bertukang, dan lain-lain. Profesi guru memegang peranan yang sangat penting untuk mencerdaskan generasi muda bangsa ini agar bisa memiliki sumber daya manusia (SDM) yang handal. Apalagi untuk negara yang cukup luas dan kaya dengan sumberdaya alam seperti Indonesia tentunya memerlukan banyak manusia terampil dengan SDM berkualitas tinggi untuk mengelolanya.
Anehnya, dan sudah menjadi fenomena pada banyak sekolah, bahwa umumnya siswa siswa cerdas enggan untuk memilih profesi menjadi guru. Malah ada guru yang justru mengajurkan anak didik mereka yang cerdas agar memilih karir lain selain guru. “Wah kamu cerdas, rugi kalau kalau kamu jadi guru, ambil saja kedokteran, tekhnik, ekonomi, psiklogi, atau HI (Hubungan Internasional) nanti bisa jadi Diplomat atau Duta Besar...” Ada ribuan kalimat persuasif yang diekspresikan oleh guru SLTA (mungkin juga oleh guru SMA, MAN atau guru SMK) pada anak didik mereka di dalam kelas- selama PBM- atau saat senggang di luar kelas. Maka sepakatlah siswa-siswa yang cerdas untuk memilih universitas dan Institut favorit di pulau Jawa.
Bila kemudian kurang berhasil, karena alasan keuangan atau kemampuan otak, maka mereka baru sudi untuk memilih fakultas atau Perguruan Tinggi di Pulau Sumatra atau di Sumatra Barat (bagi pelajar asal Sumatera Barat). Juga menjadi fenomena bahwa kalau otak dan kemampuan keuangan mereka kurang memadai, baru memilih profesi guru atau memutuskan untuk studi pada fakultas keguruan.


Banyak pemuda atau sarjana cerdas ketika di SLTA, setelah tamat dari jurusan favorit di universitas terkemuka mengalami kesulitan dalam mencari kerja. Mimpi dan iming-iming hidup indah yang dinina-bobokan oleh guru-guru saat di SLTA dulu hanyalah isapan jempol dan tidak terwujud. Takut menjadi PTT atau pengangguran tingkat tinggi, maka mereka memutuskan untuk menjadi tenaga guru honorer pada SMP, SMA, MAN dan SMK, kemudian kuliah lagi untuk mencari/ mendapatkan selembar sertifikat (AKTA mengajar) guna untuk bisa ikut test PNS pada kesempatan berikutnya dengan harapan "moga-moga bisa lulus." Ini berarti profesi menjadi guru sebagai karir yang dipungut di tengah jalan.
Profesi guru, karir yang dipungut di tengah jalan?
Ada orang yang telah memutuskan menjadi guru sejak dari dini. Sudah mereka rencanakan sejak di SMP, SLTA, atau saat masuk Perguruan Tinggi. Namun cukup banyak orang yang terpaksa, karena berbagai pertimbangan, ikut-ikutan, iseng-iseng, memasuki profesi guru dan cukup banyak orang yang banting stir karena takut menganggur maka memungut profesi sebagai guru di tengah jalan. Karakter-karakter calon guru/guru yang demikian tentu bisa memberikan dampak terhadap gaya mengajar dan pelayanan dalam mendidik kelak. Namun sebagai manusia tentu setiap orang bisa berubah menuju posisi yang baik dan terhormat.
Semenjak adanya fenomena bahwa mencari kerja yang mapan, pekerjaan yang bisa menjamin kehidupan sulit, serta ketatnya persaingan menjadi guru atau PNS, apalagi ditunjang dengan adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan sertifikasi guru dan manfaatnya serta janji pemerintah dalam mengucurkan tunjangan sertifikasi yang sudah terbukti, maka banyak lulusan SLTA memilih/memutuskan menjadi guru kelak.
Kini populasi mahasiswa keguruan, calon bapak dan ibu guru, termasuk cukup banyak/mayoritas di Indonesia. Menjadi mahasiswa adalah masa yang indah, mereka belajar banyak teori tentang paedagogik atau ilmu mendidik, psikologi, memahami bidang ilmu yang mereka tekuni dan mengikuti banyak kegiatan di kampus dan dalam kehidupan sosial. Pada umumnya mahasiswa memiliki semangat belajar dan rasa idealis yang tinggi. Setelah menyelesaikan sejumlah mata kuliah atau SKS (satuan kredit semester) dalam jumlah tertentu dan tugas akhir maka mereka punya hak untuk wisuda dan menyandang predikat sebagai sarjana pendidikan dan berkarir pada sekolah sesuai SK (surat keputusan) yang mereka peroleh dari pemerintah. Setelah menjadi guru dan meleburkan diri dalam kehidupan masyarakat, dari fenomena di lapangan, banyak ditemukan pemunduran kualitas (quality deterioration) pada pribadi guru.
Cukup banyak guru-guru mengaminkan alias mengatakan “ya” pada kenyataan bahwa setelah menjadi guru, ilmu mereka sudah karatan, terjadi kristalisasi fikiran, pembekuan fikiran, karena mereka terhenti untuk belajar dan puas dengan ijazah keguruan yang telah mereka sandang. Cukup banyak guru-guru yang terbiasa tidak mengkonsumsi buku lagi, begitu juga dalam membaca koran, majalah dan jurnal. Andaikata animo membaca guru tetap tinggi maka tentu sirkulasi penerbitan lebih bergairah lagi dan perpusatakaan serta toko buku akan tetap ramai dikunjungi. Mereka mengajar hanya dengan mengandalkan buku-buku teks yang dipinjam dari perpustakaan sekolah dan buku catatan usang yang digunakan selama bertahun-tahun tanpa tertarik untuk melebarkan dan meluaskan wawasan keilmuan. Malah dalam menyambut kehadiran teknologi seperti internet, e-mail, blogspot, atau menggunakan komputer, laptop, LCD (Laser Dish Cristal), dan teknologi informasi modern lainnya banyak guru kurang bergairah dan kurang tertarik untuk ikut mengaplikasikannya. Mereka bersembunyi dibalik kata-kata “sibuk dan tidak sempat” sehingga pada akhirnya mereka menjadi guru-guru yang "gaptek" (gagap teknologi). Karakter sebagai guru yang gaptek akan bias memberi citra negatif (negative image) pada diri anak didik. Ketertarikan anak didik pada guru dan profesi guru bisa menjadi sirna, “Wah Pak guru dan Ibu guru itu ketinggalan zaman, hidupin computer saja tidak ngerti,” gerutu seorang siswa dalam hatinya.
Membiarkan diri jadi bodoh dengan tidak mengikuti perkembangan sains dan tekhnologi, bisa dikatakan menjadi karakter sebagian guru yang statis. Karakter negatif lain yang juga ada pada sebahagian oknum guru adalah “hilangnya idealisme sebagai guru”. Praktek-praktek seperti mengajarkan atau membiarkan siswa mencontek saat UAN- ujian akhir nasional, sengaja pura-pura tidak melihat siswa mencontek dan saling mencontek dengan harapan agar nilai ujian akhirnya tinggi, atau bisa membantu mereka untuk lulus. Ada juga sebagian guru yang terbiasa untuk malas mengajar/datang ke sekolah lebih cepat, atau datang hanya bila ada jam mengajar. Budaya ini bisa jadi karena terinspirasi oleh gaya mengajar dan prilaku dosen di Perguruan Tinggi yang memberi kuliah sesuai jadwalnya, dan telah membuat banyak guru menjadi enggan untuk berlama-lama berada di sekolah. Bila perilaku ini sudah menjadi budaya, maka kapan peran guru sebagai konselor dan memberi pandangan hidup pada anak didik lewat interaksi di luar jam PBM bisa terlaksana?
Miskinnya interaksi antara guru dengan anak didik telah membuat mereka tidak mengidolakan gurunya, malah cukup banyak anak didik yang juga tidak mengenal nama guru-guru mereka dan mereka hanya menyebut, “oh itu ibu sejarah, itu bapak olah raga, itu itu ibu KWN, dan itu bapak matematika.” Akhirnya, siswa disalahkan sebagai generasi yang kurang santun karena tidak pandai menghargai dan bertegur sapa karena nama gurunya saja tidak kenal, padahal situasi ini tercipta karena gaya hidup guru itu sendiri. Karakter fundamental (mendasar) yang menyebabkan terjadinya pembodohan pada anak didik adalah karena kebisaaan atau kesenangan guru untuk menerapkan metode mengajar tradisionil atau konvensional.
Perilaku sosial guru yang lazim terjadi di sekolah , walaupun tentu saja tidak semua guru yang demikian, adalah duduk berkelompok di seputar sekolah, berbagi gossip, mengepulkan asap rokok bagi guru perokok, masuk kelas diperlambat saat lonceng berdering, masuk kelas dengan lesu karena membayangkan wajah siswa yang pemalas, marah-marah, memberi segudang nasehat, mendiktekan pelajaran sebagai strategi CBSA (catat buku sampai habis), berceramah, atau menyuruh siswa menjadi mesin fotokopi- mencatat dan meringkas isi buku sampai pegal tangan siswa, dan mungkin keluar kelas agak cepat. Tentu saja masih ada banyak guru yang melaksanakan tugas sebagai guru yang profesional.
Adalah tugas kepala sekolah dan pengawas sekolah untuk mengarahkan dan membina karakter guru seperti yang dibahas di atas. Namun fenomena yang dijumpai bahwa pendekatan atau strategi yang dilakukan oleh kepala sekolah hanya sebatas menanyakan dan menagih perangkat pengajaran, “Mana perangkat mengajar bapak/ibu...?” Maka banyak guru membuat perangkat mengajar hanya untuk menyenangkan hati kepala sekolah dan pengawas sekolah saja. Pembinaan yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam menjalankan fungsi sebagai supervisor, sebagian hanya dalam bentuk untuk menggertak guru agar rajin, bergaya mendikte dan mencari kesalahan. Maka jadilah jadwal pelaksanaan supervisi sebagai periode yang menyebalkan, menegangkan dan menimbulkan permusuhan.
Agaknya gaya hidup guru sekarang banyak yang juga senang untuk mengejar penampilan daripada meningkatkan kompetensi profesi sebagai guru. Menjadi kreditor dari sebuah bank atau toko elektronik sudah juga masuk dalam perilaku hidup mereka. Mengambil pinjaman uang untuk membeli mobil, walaupun mobil second, padahal adakalanya memiliki mobil belum jadi kebutuhan primer, tetapi karena kompetisi penampilan maka mereka juga terdorong untuk memiliki mobil. Perawatan mobil selama ber-jam jam telah menyita waktu yang seharusnya sebagai kuota untuk tujuan pendidikan. Guru- guru perempuan juga berlomba untuk membeli pakaian, atau perhiasaan agar mereka bisa tampil menarik seperti figur-figur dalam televisi atau orang orang yang datang dari metropolitan yang dipandang sebagai pembawa kultur baru. Waktu yang dihabiskan untuk memenuhi nafsu konsumerisme juga telah menyita waktu atau kuota yang seharusnya dibaktikan untuk pendidikan. Karena kesibukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesenangan dunia, sebagian guru cenderung kehilangan waktu untuk menyiapkan diri menjadi guru yang profesional. Cukup banyak guru tak punya waktu untuk belajar, menyiapkan perangkat pengajaran, menyiapkan soal-soal ujian dan memeriksa ujian dan pekerjaan anak didik. Tetapi untuk berbagi gossip dan menonton tetap selalu ada waktu.
Tidak ada salahnya kalau guru- guru juga mengejar dan memenuhi kebutuhan penampilan. Bukankah guru adalah juga manusia biasa, mereka juga punya kebutuhan mulai dari kebutuhan primer, sekunder dan kebutuhan luks. Atau mereka juga perlu memenuhi kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan psikologi sampai kepada kebutuhan untuk aktualisasi diri. Tidak ada salahnya kalau guru juga bisa meluncur dengan mobil sedan, dan memiliki rumah cantik, karena guru tidak perlu lagi dipanggil dengan sebutan “Oemar Bakri” yang pergi mengajar dengan mendayung sepeda onta, seperti yang sempat dicitrakan oleh penulis naskah sinema atau telenovela dalam televisi. Namun, juga sangat tepat kalau mereka juga peduli untuk menajamkan kemampuan kompetensi mereka sebagai guru yang profesional.
Ada tiga bentuk dari standar kompetensi guru yang harus dikenal dan dimiliki oleh setiap guru, yaitu kompetensi pengolahan pembelajaran dan wawasan kependidikan, kompetensi akademik/ vokasional, dan kompetensi pengembangan diri. Memang setiap guru perlu untuk melowongkan waktu dan selalu belajar untuk menuju guru profesional dan bermartabat dengan cara menerapkan ke tiga kompetensi ini.
Ada empat poin yang perlu dimiliki untuk kompetensi pengolahan pembelajaran, yaitu menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai prestasi belajar dan melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian. Namun sering ada beberapa aspek yang kurang dipahami dan diterapkan oleh sebahagian guru yaitu kurang mengaplikasikan metode pembelajaran yang sesuai, mengajar tanpa menggunakan media pembelajaran, membuka pelajaran dengan memberi ceramah dan marah-marah, miskin dengan sumber belajar, motivasi yang kurang mampu membangkitkan gairah belajar siswa, menjaga jarak sehingga miskin komunikasi dengan anak didik, melakukan penilaian tanpa memperhatikan indikator dan malas untuk memeriksa ujian secara detail.
Ada pula enam poin untuk sub-kompetensi wawasan kependidikan, yaitu memahami landasan kependidikan, memahami kebijakan pendidikan, memahami tingkat perkembangan siswa, memahami pendekatan pembelajaran yang sesuai materi pembelajaran, menerapkan kerja sama dalam pekerjaan, dan memanfaatkan kemajuan IPTEK dalam pendidikan.
Namun agaknya malpraktek atau kesalahan dalam mendidik bisa terjadi gara-gara sebagian guru kurang memahami eksistensi kurikulum, kurang peduli bagaimana mengembangkan life skill, broad base education, competency based curricullum dan melakukan training. Hal lain yang miskin dimiliki guru adalah tentang ilmu psikologi- memahami tingkat perkembangan mental siswa, lemah dalam memanfaatkan IPTEK (tidak kenal dengan internet, e-mail, Microsoft word, excel / program komputer), dan buta Bahasa Inggris untuk memahami bahasa Teknologi.
Dua kompetensi lain adalah kompetensi akademik/ vokasional, yaitu menguasai keilmuan dan keterampilan sesuai materi pembelajaran. Dan kompetensi pengembangan profesi, untuk ini dibutuhkan kecakapan guru untuk menulis dan meneliti. Namun selama guru-guru terjebak dalam budaya oral seperti kebisaaan senang ngobrol, bergossip, tidak suka membaca/ menulis, hanya senang menonton, maka menulis adalah sesuatu hal yang mahal bagi mereka. Dalam kenyataan bahwa banyak guru yang mengeluh kalau harus menulis apalagi untuk meneliti.
Menjadi guru sejati sebenarnya tidak sulit. Begitu memutuskan mengambil karir guru sebagai profesi maka adalah tepat untuk selalu mengembangkan diri, selalu memelihara idealisme sebagai guru, melakukan longlife education, memahami dan menerapkan/ menyempurnakan kompetensi sebagai guru, dan ... last but not least, juga memberikan pelayanan prima pada anak didik.
Ada resep untuk memberikan pelayanan prima yang telah dikenal dengan istilah “PAKEM”, singkatan dari “pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan”. Istilah ini kemudian mengalami penambahan menjadi “PAIKEM” yang juga merupakan singkatan dari “ pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan”. Guru harus bisa menciptakan suasana pembelajaran yang bisa menimbulkan keaktifan dan kreativitas anak didik. Guru juga perlu memahami efektivitas pengajarannya dan membuat inovasi untuk mendapatkan hasil yang efektif. Sebenarnya tidak masalah bagi guru untuk juga mengejar penempilan, asal tidak melupakan kompetensi sebagai guru dan memberikan pelayanan prima dalam PBM pada anak didik.

0 komentar:

Posting Komentar