Tarakan, Kalimantan Timur – Apakah bisa murid mempelajari sesuatu
bila cara mengajar guru hanya dengan masuk ke kelas, membuka buku dan
kemudian membacakan teks dengan keras? Pertanyaan ini berkecamuk di
pemikiran ribuan murid dan orang tua murid yang berada di desa-desa
kecil yang tersebar di negara kita, dimana para guru sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama umumnya masuk ke dalam kelas dan “mengajar”
dari buku tanpa membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Para
pemerhati pendidikan melihat bahwa kondisi guru-guru yang “kurang
bersemangat saat mengajar” disebabkan pada ketidaktahuan para guru untuk
mempersiapkan Rencana Pelaksanan Pembelajaran yang baik.
Anita
lie, dari Universitas Katolik Widya Mandala di Surabaya mengatakan bahwa
kualitas para guru yang berada di desa kecil, terutama yang berada di
lokasi terpencil, merupakan masalah penting yang dihadapi.
”Banyak
diantara mereka yang tidak tahu bagaimana menyiapkan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran yang baik,” kata Anita, yang menambahkan bahwa
didalam rencana pelaksanaan pembelajaran mencakup topik pelajaran dan
strategi tentang bagaimana cara guru akan memberikan informasi ke para
murid di kelas.
”Guru harus mempunyai rencana sebelum masuk kedalam kelas dan mengajar para murid. Ini adalah hal paling dasar.” tuturnya.
Anita
adalah fasilitator pelatihan guru bersama Tanoto Foundation, dan telah
memberikan pelatihan lebih dari 200 guru di Pekanbaru, Riau, Bogor,
serta Tarakan dan Balikpapan, Kalimantan Timur pada tahun 2006.
Dia
meyakini bahwa para murid tidak bisa diharapkan dapat berkembang bila
guru – guru di daerah tepencil tetap mengajar hanya dengan mengikuti
buku dan tanpa membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
”Kondisi
ini terjadi hampir di setiap desa kecil, bahkan di Pulau Jawa,”
katanya. “Situasi seperti ini bahkan terjadi lebih parah di Papua.
Pemerintah seharusnya melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah ini.”
Anita
juga menambahkan bahwa para guru di daerah terpencil juga mengalami
masalah lainnya, tidak hanya kurangnya fasilitas sekolah tetapi juga
seperti masalah budaya, dimana mereka menghadapi murid-murid yang
berasal dari berbagai suku daerah lokal yang terkadang tidak menganggap
pentingnya bersekolah.
Yulius Labo, 52 tahun, Kepala Sekolah
Sekolah Dasar 08 Sesayap di Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Timur
–yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan dengan menggunakan boat dari
Tarakan- mengatakan disekolahnya hanya terdapat enam guru dan tidak
satupun diantara mereka yang lulus kuliah. Para guru disekolahnya tidak
terlalu mampu dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, dan
terkadang mereka meminta untuk disediakan fasilitas lain, seperti
komputer.
”Tetapi disini kami tidak mempunyai listrik,” kata Yulius.
Yasa,
guru sekolah dasar di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur mengatakan
banyak dari rekan gurunya yang tidak pernah membuat Rencana Pelaksaanan
Pembelajaran.
Dia menambahkan, beberapa dari rekan gurunya merasa
sulit dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, terlepas bahwa
sebenarnya mereka membutuhkan pelatihan terlebih dulu.
Selama
pelatihan oleh Anita minggu lalu, para guru dan kepala sekolah diminta
untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran pada selembar kertas
kosong. Mereka menuliskan apa yang telah mereka rencanakan saat
mengajar dikelas dan tujuan pembelajaran. Beberapa dari mereka juga
membawa alat peraga, missalnya membawa bunga lili untuk pelajaran
biologi, sehingga membuat proses belajar terasa lebih menyenangkan.
Menurut
Anita, para guru tidak memerlukan perlengkapan yang mahal dalammenyusun
rencana pelaksanaan pembelajaran. Mereka hanya membutuhkan latihan dan
menambah kreatifitas, yang umumnya bisa didapatkan dengan mengikuti
pelatihan, membaca dan dukungan fasiltas yang memadai di sekolah mereka
masing-masing.
Giri Suryatmana, Sekretaris Bagian Umum Pelatihan
Guru untuk Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa terdapat
sekitar 75.000 guru didaerah pedalaman, termasuk mereka yang berada di
pulau-pulau terpencil. Jumlah ini dianggap minoritas mengingat di
Indonesia terdapat 2.9 miliard guru negeri dan sekolah islam.
Menurut Giri, salah satu solusi bagi guru guru didaerah pedalaman adalah memberikan akses ke Internet.
”Walaupun
dengan demikian, akan ada masalah lain. Para guru di daerah pedalaman
tidak melek Internet. Ini bukanlah hal yang gampang untuk
diselesaikan,” katanya. “Mari kita menunggu kebijakan baru untuk para
pendidik, selagi kita mengusahkan memberikan akses internet di
wilayah-wilayah terpencil.”
Dia menyebutkan bahwa di devisinya
telah menyelenggarakan project Internet untuk sekolah di 33 kabupaten,
dan hasilnya ternyata para guru mendapati bahwa banyak metode pengajaran
baru yang dapat dipelajari.
Sukemi, anggota special staff
Kementerian Pendidikan, menyampaikan kepada Jakarta Globe bahwa di era
otonomi daerah, para penyelenggara pemerintah daerah harus mengambil
tanggung jawab dan melakukan sesuatu kepada para guru.
Dia
memastikan bahwa kementerian tidak menutup mata mengenai permasalah
ini. “kementerian berkomitmen untuk menciptakan kebijakan baru dalam
menghasilkan guru-guru yang berkualitas untuk mengajar di daerah
terpencil.”
0 komentar:
Posting Komentar