1. Macam-macam
Kecerdasan Majemuk ( Multiple Intelligence ) Serta Cara Mengembangkannya pada
Anak Sekolah Dasar
A. Macam-macam Kecerdasan Majemuk
Gardner (1983) berhasil
mengidentifikasi tujuh macam kecerdasan, yang kemudian dikenal sebagai
kecerdasan ganda (Multiple Intelligence)
atau biasa disingkat dengan MI. Ketujuh jenis kecerdasan tersebut adalah musical/rhythmic
intelligence bodily/kinesthetic
intelligence, logical/mathematical
intelligence, visual/spatial intelligence, verbal/linguistic intelligence, interpersonal
intelligence, dan intrapersonal
intelligence (dalam
perkembangannya ditambah satu jenis kecerdasan sehingga menjadi delapan, yakni naturalistic intelligence).
1.
Kecerdasan
Musikal
(Musical/Rhythmic Intelligence)
Gardner menyebut kecerdasan musical ini dengan istilah musical/ rhythmic intelligence. Kecerdasan musical (KM) adalah kemampuan
untuk menghasilkan dan mengapresiasi musik. Kemampuan ini meliputi menyanyi,
bersiul, memainkan alat-alat musik, mengenal pola-pola nada, membuat komposisi
musik, mengingat melodi, memahami struktur dan irama musik. Gardner telah
mengidentifikasi bahwa inti dasar KM
musical meliputi aspek irama, pola titinada, harmoni, dan timber, tetapi dia
segera mengusulkan adanya kekuatan emosional misterius dari musik. Dia
menunjukkan beberapa fakta untuk mendukung teorinya bahwa
kemampuan musikal
berfungsi seperti sebuah intelegensi, yakni apa yang oleh composer disebut
sebagai logical musical thinking dan musical
mind (101-2). Kecerdasan musik merupakan kecerdasan yang paling awal
berkembang dalam diri manusia (Grow, 2005).
2.
Kecerdasan
Kinestetik / Kinesthetic
Intelligence
Jenis kecerdasan ini berkaitan dengan pengendalian gerakan badan.
Pengenalian gerakan badan ini terletak di korteks motoris dengan setiap belahan otak mendominasi atau
mengendalikan gerakan badan di sisi yang berlawanan (Gardner, 1983). Orang yang
cerdas secara kinesthetic akan lebih mudah menirukan dan menciptakan gerakan.
Seorang olahragawan yang cerdas kinesthetic akan dapat menyelesaikan dan
mencari alternatif gerakan. Penyelesaian gerakan tentu berbeda dengan
penyelesaian persamaan matematika, sehingga dalam hal ini orang yang cerdas gerak
badan boleh jadi tidak cerdas secara matematik dan sebaliknya.
3.
Kecerdasan
Logika (Logical/Mathematical Intelligence)
Yaitu kecerdasan dalam penggunaan angka atau bilangan, hubungan sebab
akibat, dan problem solving. Seorang
yang memiliki atau mengasah kecerdasan ini dapat mengikuti pembelajaran dalam
klasikall.
Bentuk kecerdasan ini termasuk yang paling mudah
distandarisasikan dan diukur. Kecerdasan
ini sebagai pikiran analitik dan sainstifik serta bisa melihatnya dalam diri
ahli sains , programer komputer, akuntan, banker, dan tentu saja ahli
matematika.
4.
Kecerdasan
Visual atau Spasial
Kecerdasan yang meliputi kemampuan untuk pengamatan secara visual,
mengimajinasikan apa yang sedang dibicarakan untuk membangun pengertian tetap
atau baru. Mereka yang memiliki kecerdasan ini senang dengan model pembelajaran
yang menggunakan grafik , peta, tabel, puzzle atau apa saja yang dapat dilihat.
5.
Kecerdasan
Verbal (Linguistic Intelligence)
Kecerdasan verbal linguistik mungkin merupakan kecerdasan yang paling
universal di antara ketujuh kecerdasan majemuk. Kecerdasan
verbal-linguistik adalah kemampuan berfikir dalam bentuk kata-kata secara
efektif baik secara lisan maupun tulisan dan menggunakan bahasa untuk
mengekspresikan dan mengapresiasikan makna. Mengungkap kalimat dengan
menggunakan kata yang tepat. Dengan demikian ada empat komponen dalam
kecerdasan ini yakni: fonologis (kepekaan bunyi), sintaksis (struktur dan
susunan kalimat), semantik (pemahaman tentang makna), dan pragmatika (kemampuan
berbahasa untuk mencapai sasaran praktis).
6.
Kecerdasan
Interpersonal (Interpersonal Intelligence)
Kecerdasan dalam bersosialisasi
sehingga seseorang yang cerdas interpersonalnya akan mudah bergaul dan
senang belajar kelompok. Profesi yang sesuai : Politisi, guru, pemimpin
religius, penasehat, penjual, manager, dan public relection.
7.
Kecerdasan
Intrapersonal (intrapersonal Intelligence)
Kecerdasan dalam berdialog dengan
perasaan, nilai-nilai, dan gagasan sendiri. Mereka yang memiliki kecerdasan ini
cenderung pendiam namun memikir yang dalam tentang hal-hal yang mereka pelajari
, senang belajar dengan menyendiri, dan
suka merenung.
B. Cara Mengembangkan Kecerdasan
Majemuk pada Anak SD
Untuk mengetahui kompetensi dan potensi
seseorang, Gardner memiliki konsep yang berbeda dari para peneliti bidang
kecerdasan sebelumnya. Hampir semua tes kompetensi dan potensi yang dilakukan
sebelumnya berusaha untuk menetapkan dengan tes formal yang dilakukan secara
seragam dan sebagian besar instrumen pengujian amat bias karena menggunakan dua
variabel kecerdasan yaitu linguistik dan logika-matematika saja. Kesimpulan
tentang kompetensi dan potensi seharusnya diberikan berdasarkan pengamatan yang
bijaksana dalam lingkungan sosial secara individual. Tampaknya banyak yang
mencoba untuk mengetahui potensi dan kompetensi dengan desain yang sebaliknya
yaitu menciptakan kebutuhan, bukan untuk memenuhi kebutuhan akan pengetahuan
terhadap potensi dan kompetensi seseorang. Oleh karenanya perlu diberikan
penegasan bahwa yang dilakukan bukanlah suatu tes (pengujian) melainkan
penilaian untuk memperoleh informasi mengenai ketrampilan dan potensi dari
individu dengan dua sasaran yaitu memberikan umpan balik yang bermanfaat
terhadap individu yang bersangkutan dan data yang berguna kepada orang yang
berada di sekitarnya tempat mereka berinteraksi.
Begitu banyak test sekolah yang
melibatkan ketrampilan tulis menulis yang menguntungkan bagi anak-anak dengan
kecerdasan linguistik atau logika matematik yang tinggi.2,17-20 Ketika anak
tertentu diminta memperagakan apa yang mereka ketahui hanya dengan melalui
kata-kata atau angka, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memperlihatkan
apa yang benar-benar mereka ketahui tentang suatu topik. Meski demikian jika
diberi kesempatan untuk mengungkapkan apa yang telah mereka pelajari melalui
kecerdasan yang lain, mereka sering bisa memperlihatkan hasil yang sangat
mengagumkan. Berikut beberapa contoh jenis kegiatan yang bisa dilakukan anak di
sekolah untuk menunjukkan penguasaan sebuah mata pelajaran dalam kedelapan
jenis kecerdasan.
1.
Kecerdasan linguistik: laporan tertulis,
laporan lisan, puisi, esai, drama.
2.
Kecerdasan logika-matematika: percobaan,
tabel statistik, diagram Venn, program komputer.
3.
Kecerdasan spasial: menggambar, sketsa/
diagram, peta pemikiran, rekaman video
4.
Kecerdasan kinestetik-jasmani: acting,
drama, tari, peragaan, proyek tiga dimensi.
5.
Kecerdasan musik: lagu, ketukan,
senandung, pertunjukan musik, konseptualisasi musik.
6.
Kecerdasan interpersonal: diskusi
kelompok, debat, simulasi kelompok, wawancara.
7.
Kecerdasan intrapersonal: mengisi buku
harian, buku kliping, proyek independen.
8.
Kecerdasan naturalis: proyek ekologi,
penggunaan tanaman atau hewan dalam evaluasi, kerja lapangan, penelitian
tentang alam.
Jika anak tidak biasa mengerjakan tes di
sekolah, temukan cara untuk menterjemahkan informasi yang ada di dalam tes ke
dalam salah satu atau lebih bentu yang dipaparkan di atas, dan kemudian dilihat
apakah cara ini membantu meningkatkan kemampuan anak untuk mengungkapkan
pemahamannya. Semakin banyak cara yang bisa digunakan anak untuk menunjukkan
penguasaan suatu subjek, semakin besar peluang mereka untuk mencapai
keberhasilan sejati.
2.
Implikasi
Konvensi Hak Anak Dalam Kegiatan Di Skolah
a.
Krisis Ekonomi Sebagai Kasus
Di
Indonesia, sebelum krisis ekonomi terjadi, sekian juta anak, berumur antara
10-14 tahun, dinyatakan oleh statistik resmi sebagai pekerja anak. Setelah
krisis berlangsung selama lebih dari dua tahun, jumlah anak yang bekerja
ditengarai meningkat. Banyak anak yang semula hanya bersekolah dan tidak
bekerja kini menggunakan sebagian waktunya untuk bekerja. Banyak pula anak yang
semula bekerja sembari bersekolah kini putus sekolah dan menjadi pekerja penuh
waktu. Begitu pula, anak yang bekerja lebih dari 25 jam/minggu jumlahnya
menjadi lebih banyak.
Krisis
ekonomi membuat semakin banyak anak yang bekerja. Krisis juga membuat banyak
anak menjadi rawan putus sekolah. Dalam contoh kasus diatas, disoroti secara
khusus dua dampak krisis ini. Kedua dampak tersebut, tidak perlu penjelasan
lebih jauh, nyata saling berkaitan. Kalau anak bekerja maka kesempatannya untuk
bersekolah, atau setidaknya kesempatannya untuk bisa mengikuti pelajaran di
sekolah dengan baik, menjadi menurun. Sebaliknya, jika anak putus sekolah, maka
masalah penggunaan waktu luang menjadi mengedepan; dan bagi anak pada khususnya
yang berasal dari keluarga miskin, tekanan kebutuhan ekonomi keluarga akibat
krisis akan mendorongnya ke posisi aktif secara ekonomi.
b.
Pandangan terhadap Anak yang Tidak
Bersekolah dan Anak yang Bekerja
Dewasa ini,
kecuali pada beberapa masyarakat dan kebudayaan tertentu, jika dinyatakan:
“Banyak anak yang putus sekolah atau beresiko putus sekolah”, maka pernyataan
itu bagi kebanyakan orang dianggap mengusik, setidaknya secara moral. Dewasa
ini, masyarakat umum cenderung beranggapan bahwa sekolah (lebih tepatnya:
pendidikan) merupakan sesuatu yang perlu bagi anak-anak. Begitu pula halnya
dengan para pemuka masyarakat, tokoh agama, para pakar, politisi dan media massa
secara umum, mereka semua cenderung beranggapan bahwa sekolah bagi anak-anak
merupakan sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak dan tidak perlu ada pertanyaan
lagi mengenai hal itu. Terlepas dari apakah opini publik di kalangan masyarakat
kebanyakan dipengaruhi dan dibentuk oleh pandangan dari kalangan pemuka, pakar,
para politisi dan media massa; atau sebaliknya, opini publiklah yang
mengarahkan sentimen para politisi, pemuka serta media-massa agar berpihak
kepada opini umum; yang pasti pandangan umum mengenai perlunya pendidikan bagi
anak-anak, baik pada masa krisis dan apalagi pada masa normal, telah menjadi
suatu opini yang solid, tidak perlu dipertanyakan dan hampir tidak bisa
digugat.
Agak
berbeda halnya dengan anak yang bekerja. Di kalangan masyarakat termasuk para
orangtua, masih sering muncul pertanyaan: “Apa salahnya jika anak bekerja?
Bukankah anak yang bekerja, terutama yang membantu menambah penghasilan
orangtuanya, adalah sesuatu yang baik?” Pada masa sebelum krisis-pun banyak
diantara kalangan masyarakat, politisi, para pakar maupun sebagian aktifis LSM.
yang berpandangan seperti itu. Dan setelah krisis ekonomi melanda, pandangan
demikian seolah memperoleh pembenaran baru. Tentu saja ada pula yang
berpendapat bahwa bekerja bukanlah suatu hal yang baik untuk anak, dan bahwa
anak seharusnya tidak boleh dipekerjakan.
Untuk
memahami silang pandangan menyangkut anak yang bekerja, mungkin kita perlu
melihat bagaimana pandangan masyarakat berkembang dan berubah selang kurun
waktu tertentu. Anak yang tidak bersekolah misalnya, walaupun pada masa
sekarang dianggap sebagai suatu penyimpangan, namun pada dua atau tiga generasi
yang lampau hal itu kiranya merupakan fenomena yang lumrah belaka. Pada masa
itu, tak ada sedikitpun hal yang ganjil dengan anak yang tidak bersekolah.
Jadi, dalam kurun dua atau tiga generasi terakhir, sebenarnya telah terjadi
perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai perlunya pendidikan bagi anak.
Hatta,
dikemukakan oleh B. Rwezaura bahwa pandangan masyarakat terhadap anak sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya; dan bahwa
oleh karena faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya senantiasa
berkembang sebagai suatu dinamik, maka pandangan masyarakat terhadap anak juga
merupakan suatu dinamik, tidak mandek dan tidak absolut. Di Inggris misalnya,
perkembangan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi sesudah masa revolusi
industri membuat pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi
anak memperoleh momentum yang kemudian diikuti dengan ketentuan resmi Negara
mengenai wajib belajar.
Menggunakan
kasus perubahan pandangan masyarakat mengenai arti pendidikan bagi anak seperti
disampaikan terdahulu sebagai pijakan analisis untuk memahami persepsi
masyarakat terhadap anak yang bekerja, maka kita dapat menduga bahwa bukannya
tidak mungkin jika kelak, satu atau dua generasi mendatang, keberadaan anak
yang bekerja akan mengusik setiap orang, setidaknya secara moral: bahwa
keberadaan anak yang bekerja adalah suatu aib yang tidak bisa ditolerir.
c.
Penetapan Standar dan Perubahan Pandangan
Masyarakat
Selain
karena perubahan dan/atau perkembangan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik
dan budaya, perubahan pandangan masyarakat juga bisa disebabkan oleh nilai atau
aturan tertentu. Misalnya, pada jaman jahiliah, anak-anak perempuan dianggap
sebagai aib dan boleh dibunuh. Namun setelah Nabi Muhammad SAW memperkenalkan
nilai dan aturan baru, maka terjadi perubahan pada pandangan terhadap anak
perempuan.
Tadi telah
disinggung tentang kaitan antara perkembangan revolusi industri dengan
berubahnya pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak
serta keputusan untuk mengintroduksikan sistim wajib belajar melalui
aturan/legislasi di Inggris. Dengan pemberlakuan aturan mengenai wajib belajar,
maka secara teknis setiap anak harus memperoleh pendidikan (biasanya pendidikan
dasar) selama periode tertentu misalnya enam atau sembilan tahun.
Pengenalan
suatu nilai baru dan pemberlakuan aturan yang sesuai merupakan suatu langkah
yang akan membawa dampak tidak saja secara moral namun juga secara yuridis.
Nilai yang baru membuat orang menjadi merasa bersalah apabila melakukan
penyimpangan. Pemberlakuan aturan yang mengikat akan membawa sanksi bagi setiap
pelanggaran. Melalui pemberlakuan aturan, maka wajib belajar (dalam contoh ini
di Inggris) mempunyai kekuatan hukum. Ia beranjak dari sekedar himbauan moral
atau pernyataan politik yang “tidak bergigi”, menjadi suatu standar yang bisa
diadili (justiciable). Langkah pengenalan nilai dan aturan seperti itu biasa
disebut sebagai “penetapan standar” (standard setting).
Dengan
standar yang ditetapkan melalui aturan yang berkekuatan hukum, maka penegakan
(enforcement) bisa dijalankan. Orangtua yang gagal mengirimkan anaknya ke
sekolah, bisa dikenai sanksi tertentu. Penegakan yang konsekuen dan konsisten,
pada gilirannya akan membuat masyarakat, terpaksa ataupun sukarela, mematuhi
ketentuan yang ada. Demikianlah maka setelah satu generasi kemudian, semua anak
praktis sudah akan memperoleh pendidikan dasar yang diwajibkan. Lalu pada
generasi berikutnya, membiarkan anak tidak bersekolah akan dianggap bukan saja
sebagai suatu pelanggaran hukum namun juga sebagai penyimpangan sosial dan
moral. Jadi penegakan hukum pada gilirannya akan memperkuat nilai yang diberlakukan.
Opini masyarakat akan menjadi semakin solid dan orang tidak lagi menganggap
perlu ada pertanyaan mengenai keniscayaan pendidikan bagi anak.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa penetapan standar melalui aturan yang
berkekuatan hukum, jika diikuti dengan penegakan secara konsekuen, pada
gilirannya akan membawa perubahan pada persepsi dan perilaku sosial. Dengan
kata lain, penetapan standar bisa membawa perubahan terhadap perilaku dan
pandangan masyarakat.
d.
Konsep Hak Anak dan Perkembangannya
Pandangan
masyarakat mengenai apa yang perlu bagi anak, membentuk konsep mengenai hak
anak. Misalnya, jika dianggap bahwa anak memerlukan pendidikan, maka pandangan
ini membentuk konsep mengenai hak anak atas pendidikan. Begitu pula jika
dipandang bahwa anak perlu dilindungi dari penghisapan (eksploitasi) ekonomi,
maka pandangan seperti ini akan membentuk konsep mengenai hak anak untuk
dilindungi dari berbagai pekerjaan yang berdampak buruk bagi perkembangan,
kesehatan dan moral anak, atau yang membahayakan keselamatannya.
Dimuka
telah diuraikan bahwa pandangan masyarakat terhadap anak dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan bisa berubah dari waktu ke waktu. Demikianlah maka konsep
mengenai hak anak juga mengalami perubahan dan perkembangan.
Syahdan,
pada jaman dahulu anak tidak dianggap sebagai subyek, melainkan hanya sebagai
obyek milik orangtua semata. Oleh karena itu masyarakat pada jaman itu
mentolerir dan menganggap biasa jika orangtua menjual, menganiaya, ataupun
membunuh anaknya. Anak tidak lebih statusnya daripada seorang budak. Dan konon
yang paling menderita adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.
Pada awal
kelahiran Negara Kebangsaan moderen seperti yang kita kenal saat ini, dimana
mulai diperkenalkan adanya sistim hukum nasional yang tunggal, sistim hukum
nasional juga masih belum mengakui anak sebagai suatu subyek hukum yang
mandiri. Bahkan di Perancis, yang notabene merupakan tempat kelahiran Negara
Kebangsaan moderen, baru pada tahun 1945 atau sekitar satu-setengah abad
setelah Perancis memperkenalkan Negara Kebangsaan, hukum perdatanya yang
memberikan kewenangan penuh kepada ayah untuk memenjarakan anaknya (dibawah 21
tahun) mulai direvisi.
Kita
ketahui pula, bahwa hingga saat inipun kewenangan publik untuk melakukan
intervensi dan melindungi anak yang dianiaya (abuse) oleh orangtuanya di
Indonesia masih belum tegas diatur dalam KUHP maupun didalam perundangan
nasional lainnya. Dengan kata lain, belum ada penetapan standar yang
berkekuatan hukum yang pasti untuk memberikan ganjaran pidana bagi orangtua
yang menganiaya anak, atau untuk mencabut hak perwalian orangtua atas anak —
setidaknya didalam enforcementnya.
e.
Penetapan Standar Internasional dibidang
Hak Anak
Penetapan
standar bisa dilakukan di tingkat nasional dalam wilayah suatu negara. Namun
bisa juga dilakukan ditingkat internasional melibatkan beberapa atau semua
negara di dunia.
Dalam
konteks ini, penetapan standar pertama di bidang hak anak dilakukan oleh
Organisasi Buruh Internasional (ILO). Segera setelah pendiriannya pada tahun
1919, ILO membuat Konvensi yang menetapkan batas usia minimum bagi anak untuk
dipekerjakan. Konvensi ILO tersebut, karena mandat organisasi yang memang
terbatas di bidang perburuhan, cakupannya juga terbatas hanya pada hak anak
atas “perlindungan dari eksploitasi ekonomi”.
Republik
Indonesia memang belum diprokamasikan pada waktu itu. Namun sebagai jajahan
Belanda, hukum Belanda diberlakukan di Indonesia pada masa itu. Dalam kaitan
ini, cukup menarik untuk berspekulasi tentang kaitan antara Konvensi ILO tahun 1919
dengan Staatsblad (Lembaran Negara pada jaman pemerintahan kolonial Belanda)
tahun 1925 yang menetapkan batas umur minimum tertentu sebelum anak boleh
dipekerjakan yang diberlakukan di Indonesia, dan yang belum dicabut hingga saat
ini.
Lima tahun
setelah Konvensi ILO 1919 tersebut, yakni pada tahun 1924, organisasi
internasional yang ada pada waktu itu, Liga Bangsa Bangsa, mencanangkan
Deklarasi Hak Anak. Berbeda dengan Konvensi ILO, Deklarasi ini menetapkan
standar-standar internasional mengenai apa yang dianggap sebagai hak anak
dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar “melindungi anak dari eksploitasi
ekonomi”, namun juga masih cukup terbatas sesuai perkembangan pada masa itu.
Pada tahun
1948, beberapa waktu setelah Liga Bangsa Bangsa bubar, organisasi internasional
yang baru, Perserikatan Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia. (Patut kita catat bahwa pada tahun 1948 negara Republik
Indonesia sudah lahir). Dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa anak
mempunyai hak untuk dilindungi. Selanjutnya pada tahun 1959, PBB seolah
menegaskan apa yang telah dilakukan oleh Liga Bangsa Bangsa, kembali
mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Deklarasi ini merupakan deklarasi
internasional kedua dan tentu saja cakupannya menjadi agak lebih luas jika
dibandingkan dengan Deklarasi pertama oleh Liga Bangsa Bangsa yang dicanangkan
tahun 1924.
Berbeda
dengan Konvensi, Deklarasi merupakan suatu penetapan standar yang hanya
mengikat secara moral namun tidak mengikat secara yuridis. Jadi, Deklarasi Internasional
tentang Hak Anak, baik yang pertama (1924) maupun yang kedua (1959) tidak
mengikat secara hukum.
Pada tahun
1989, Majelis Umum PBB menerima dengan suara bulat naskah akhir Konvensi Hak
Anak, yang kemudian berlaku sebagai hukum internasional pada tahun berikutnya,
1990.
Banyak
perkembangan menyangkut konsep mengenai hak anak yang terjadi sejak
dicanangkannya Deklarasi Hak Anak II (1959) hingga disetujuinya naskah Konvensi
Hak Anak oleh Majelis Umum PBB (1989). Beberapa perkembangan yang bisa disebutkan
antara lain ialah diberlakukannya Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1976). Didalam kedua
instrumen internasional tersebut konsep mengenai hak anak mengalami
perkembangan cukup pesat. Tambahan lagi, selama kurun tersebut masih ada banyak
instrumen internasional lain menyangkut hak asasi manusia, yang langsung maupun
tidak langsung membawa dampak pula bagi perkembangan konsep tentang hak anak.
Singkatnya, Konsep tentang hak anak yang tercakup dalam Konvensi Hak Anak jauh
lebih luas dibandingkan dengan yang tercakup dalam Deklarasi Hak Anak yang
dicanangkan pada periode sebelumnya.
Isi Konvensi Hak Anak
Demikian luasnya cakupan hak
anak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak, sehingga untuk bisa mengingatnya
dengan lebih mudah, dibuat pengelompokan tertentu. Salah satu cara
pengelompokan yang populer ialah dengan membagi hak anak menjadi empat
kategori, yakni hak hidup dan kelangsungan hidup, hak atas perlindungan, hak
untuk berkembang, dan hak untuk berpartisipasi.
Namun demikian, pengelompokan
“resmi” yang dibuat oleh Komite Hak Anak (yakni badan yang dibentuk untuk
mengevaluasi pelaksanaan Konvensi di setiap Negara) membagi Konvensi Hak Anak
menjadi delapan kategori, sebagai berikut:
1.
Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi Anak
3.
Prinsip-prinsip Umum
4. Hak dan
Kemerdekaan Sipil
5. Lingkungan
Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6. Kesehatan dan
Kesejahteraan Dasar
7. Pendidikan,
Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Perlindungan
Khusus
Dari delapan kategori
tersebut, kelompok yang secara substantif berisi kandungan konsep hak anak
adalah kategori ke 4-8. Secara garis besar, kandungan hak anak dalam setiap
kategori adalah sebagai berikut:
Hak dan Kemerdekaan Sipil: Terdiri
atas Pasal-pasal 7, 8, 13, 14, 15, 16, 17 dan 37(a). Merupakan penegasan bahwa
anak adalah subyek hukum yang mempunyai hak-hak dan kemerdekaan sipil
sebagaimana layaknya orang dewasa. Sebagian terbesar dari ketentuan dalam
kategori ini diturunkan dari “hak sipil dan politik” yang berlaku bagi orang
dewasa. Misalnya, anak berhak untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan, anak
berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat, dan berhak untuk bebas dari
perlakuan semena-mena.
Lingkungan Keluarga dan
Pengasuhan Pengganti: Terdiri atas Pasal-pasal 5, 18 ayat 1-2, 9, 10, 11, 19,
20, 21, 25, 27 ayat 4 dan 39. Mengatur hubungan anak dengan orangtua/
keluarganya, baik hubungan ekonomi-sosial-budaya maupun hubungan sipil dan
hubungan hukum. Misalnya hak anak mendapatkan jaminan nafkah dari orangtua
terutama jika orangtua tinggal di negara lain, untuk mengetahui dan diasuh oleh
kedua orangtuanya sendiri, hak anak jika orangtuanya berpisah, hak anak jika ia
diangkat/ diadopsi oleh keluarga lain, dan sebagainya. Perlu diketahui, bahwa
berhubung anak, baik secara ekonomi-sosial-budaya maupun secara sipil dan
yuridis sangat bergantung kepada orangtua atau orang dewasa lain yang memegang
hak asuh atas anak, maka aturan menyangkut kategori ini sangat luas dan cukup
kompleks.
Kesehatan dan Kesejahteraan
Dasar: Terdiri atas Pasal-pasal 6, 18 ayat 3, 23, 24, 26 dan 27 ayat 1-3. Memberikan
kepada anak-anak hak atas standar kesehatan dan kesejahteraan. Misalnya, hak
atas untuk memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Hak-hak ini
diturunkan dari “hak ekonomi-sosial-budaya” yang berlaku bagi orang dewasa.
Pendidikan, Waktu Luang dan
Kegiatan Budaya: Terdiri atas Pasal-pasal 28, 29 dan 31. Sebagaimana kategori
sebelumnya, hak-hak di sini pada umumnya juga diturunkan dari hak-hak
ekonomi-sosial-budaya yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya hak atas
pendidikan dasar secara gratis.
Perlindungan Khusus: Terdiri
atas Pasal-pasal 22, 38, 39, 40, 37 (b)-(d), 32, 33, 34, 35 dan 36. Kategori
ini dibagi lagi menjadi empat sub-kategori, yakni: (A) Perlindungan bagi anak
dalam situasi konflik bersenjata dan yang menjadi atau mencari status
pengungsi; (B) Perlindungan bagi anak yang melakukan pelanggaran hukum; (C)
Perlindungan bagi anak dari eksploitasi ekonomi, penyalah-gunaan obat dan narkotika,
eksploitasi seksual, penjualan dan perdagangan, atau dari bentuk-bentuk
eksploitasi lainnya; dan (D) Perlindungan bagi anak-anak dari kelompok
minoritas serta kelompok masyarakat adat (indigenous). Kategori ini bersifat
khas hak anak dan sangat kompleks. Kategori ini meliputi baik hak-hak
ekonomi-sosial-budaya maupun hak-hak sipil-politik.
Bagi pembaca yang mempunyai
minat untuk mempelajari secara lebih mendalam mengenai rincian lebih lanjut
dari kandungan substantif hak-hak anak tersebut, disarankan untuk membaca
Konvensi Hak Anak.
Konvensi Hak Anak, karena
sifat yang cakupannya, membawa pandangan baru yang radikal terhadap anak
sebagai manusia dan sekaligus subyek hukum. Jika standar-standar dalam KHA
ditegakkan secara konsisten dan konsekuen, hanya dalam satu generasi ia akan
membawa dampak yang cukup berarti bagi pandangan dan praktek sosial masyarakat,
tidak saja terhadap anak-anak namun juga terhadap sesama manusia lainnya.
Implementasi Konvensi Hak Anak
Di atas tadi telah
didiskusikan secara ringkas bagaimana faktor-faktor ekonomi, sosial, politik
dan budaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap anak; dan bagaimana
hubungannya dengan perkembangan konsep hak anak. Juga bagaimana penetapan
standar yang mengikat secara yuridis dan penegakannya membawa pengaruh pada
persepsi dan praktek sosial (dalam hal ini menyangkut hak anak).
Berdasarkan sifatnya, hukum
internasional termasuk hukum internasional dibidang HAM (KHA adalah bagian
integral dari hukum internasional dibidang HAM), bersifat mengikat terhadap
Negara; bukannya mengikat individu maupun badan-badan hukum swasta.
Penegakan hukum internasional
dibidang HAM, agar bersifat mengikat terhadap individu dan badan-badan swasta,
harus dilakukan dengan mentransformasikan hukum internasional bersangkutan
kedalam ketentuan-ketentuan didalam hukum nasional suatu Negara. Inilah yang
disebut sebagai implementasi atau aplikasi domestik dari hukum HAM
internasional. (Perlu diingat bahwa hanya instrumen internasional yang bersifat
mengikat secara yuridis-lah — seperti Konvensi Hak Anak — yang mempunyai
kekuatan paksa agar diimplementasikan di tingkat nasional).
Dalam kaitan ini, karena
Republik Indonesia sudah ikut menyetujui (meratifikasi) KHA, maka Indonesia
terikat pada kewajiban yuridis untuk mengimplementasikan KHA didalam wilayah
hukum nasional Indonesia.
Dalam
wacana HAM, ada tiga kewajiban dasar yang dikenal sebagai kewajiban generik
(generic obligations). Kewajiban-kewajiban lain pada umumnya merupakan turuna
atau derivat dari ketiga kewajiban generik tersebut. Tiga kewajiban generik
dimaksud ialah:
• Kewajiban
untuk menghormati (respect)
• Kewajiban
untuk melindungi (protect)
• Kewajiban
untuk memenuhi (fulfill)
Kewajiban untuk menghormati
mengharuskan Negara untuk tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Konvensi. Kewajiban ini relatif mudah dan murah, karena hanya mengehendaki
abstensi: sudah cukup terlaksana sejauh Negara, perangkat dan aparatnya, tidak
melakukan pelanggaran. Misalnya, polisi tidak melakukan penangkapan dan
pehananan sewenang-wenang, atau penyiksaan, terhadap anak yang dicurigai telah
melakukan pencurian. Kiranya tidak perlu penjelasan panjang lebar, tidak
melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan tidak menyiksa anak
yang dituduh mencuri, sama sekali merupakan perkara mudah dan tidak membutuhkan
biaya sepeserpun.
Kewajiban untuk melindungi
mengharuskan Negara untuk memberikan perlindungan agar anak tidak dilanggar
haknya oleh orang atau individu lain (termasuk orangtua anak sendiri), dan memberikan
sanksi (biasanya sanksi pidana) bagi setiap pelanggaran Perlindungan dimaksud
biasanya diwujudkan dengan membuat aturan hukum di tingkat nasional, atau
menyesuaikan aturan hukum nasional yang ada agar sesuai dengan standar serta
ketentuan yang terdapat dalam Konvensi. Upaya untuk memberi perlindungan agar
tidak terjadi pelanggaran oleh pelaku-pelaku non-Negara seperti ini dikenal
juga sebagai “efek horizontal dari hukum HAM internasional” (horizontal effect
of international human rights law). Misalnya, Negara membuat aturan baru atau
menyesuaikan aturan yang ada guna melarang dilakukannya tindakan main hakim
sendiri oleh siapapun (termasuk oleh satpam) terhadap seorang anak yang dituduh
atau diketahui mencuri; dan memberikan sanksi terhadap satpam yang telah
melakukan tindakan main hakim sendiri tersebut.
Kewajiban untuk memenuhi
mengharuskan Negara untuk memberikan apa-apa yang diakui sebagai hak dalam
ketentuan Konvensi yang ada. Misalnya, jika ditentukan bahwa setiap anak yang
dituduh telah melanggar hukum pidana (mencuri) berhak untuk didampingi oleh
seorang pengacara, maka Negara harus menyediakan pengacara dimaksud. Kewajiban
ini dikenal sebagai kewajiban yang paling sulit untuk dilakukan, antara lain
karena implementasinya membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam contoh kasus
tadi, dimana Negara harus menyediakan pengacara bagi setiap anak yang dituduh
mencuri, jelas membutuhkan biaya (untuk gaji, administrasi kepegawaian, dsb.)
yang tidak kecil.
3.
BIMBINGAN
DAN KONSELING DI SEKOLAH DASAR
A. Hakikat Bimbingan dan Konseling di
SD
Bimbingan
merupakan sebuah layanan yang diberikan kepada klien dalam rangka memberikan
bantuan guna meringankan permasalahan yang dihadapi klien dengan cara pemberian
bimbingan secara berkelanjutan. Pendapat ini berkaitan dengan penjelasan yang
dikemukakan oleh Supriadi dalam Setiawati dan Chudari, (2007:3) ia menyatakan
bahwa: Bimbingan adalah proses bantuan yang diberikan oleh konselor/pembimbing
kepada klien agar dapat:
a. Memahami
dirinya,
b. mengarahkan
dirinya,
c. memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya,
d. menyesuaikan
diri dengan lingkungannya (keluarga, sekolah,masyarakat),
e. mengambil
manfaat dari peluang-peluang yang dimilikinya dalam rangka mengembangkan diri
sesuai dengan potensi-potensinya, sehingga berguna bagi dirinya dan bagi
mayarakatnya.
Sedangkan
konseling diartikan sebagai “kegiatan pengungkapan fakta atau data tentang
siswa, serta pengaraan kepada siswa untuk dapat mengatasi sendiri
masalah-masalah yang diadapinya” Frank Son (Depdiknas, 2003:4). Dari
definisi-definisi tersebut maka kita dapat menyimpulkan bahwa kegiatan
bimbingan dan konseling adalah kegiatan yang perlu diberdayakan diberbagai
kalangan dan lingkungan teutama di lingkungan pendidikan (sekolah). Seperti
yang kita ketahui pada dasarnya manusia di dunia ini akan mengalami berbagai
masalah, baik permasalahan yang timbul dari dalam dirinya sendiri ataupun dari
luar dirinya tanpa terkecuali juga masalah perencanaan masa depannya. Dalam hal
ini anak-anak SD pun termasuk kedalamnya sehingga pelayanan bimbingan dan
konseling-pun diperlukan di lingkungan sekolah dasar agar dapat membimbing anak
untuk meyelesaikan permasalahan-permasalahannya.
Visi pelayanan bimbingan dan
konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui
tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan pengembangan dan
pengentasan masalah agar peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan
bahagia.
Dalam pelaksanaannya, bimbingan dan
konseling harus memiliki prinsip-prinsip yang nyata sehingga pelaksanaanya akan
terwujud lebih jelas. Menurut Depdiknas (2003:10) menyebutkan bahwa
prinsip-prinsip bimbingan dan konseling diantaranya mencakup:
1.
Bimbingan dan konseling melayani semua
individu tanpa memandang umur, jenis kelamin, suku, agama dan status social
ekonomi.
2.
Bimbingan dan konseling berurusan dengan
pribadi dan tingkah laku yang unik dan dinamis.
3.
Bimbingan dan konseling memperhatikan
sepenuhnya tahap dan berbagai aspek perkembangan individu.
4.
Bimbingan dan konseling memberikan
perhatian utama pada perbedaan individual yang menjadi orientasi pokok
pelayanannya.
Selain
itu juga diungkapkan beberapa prinsip serta asas bimbingan dan konseling.
Prinsip bimbingan dan konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan
peserta didik, program pelayanan serta tujuan dan pelaksanaan layanan.
Asas
bimbingan dan konseling terdiri dari asas kerahasiaan, kesukarelaan,
keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan,
kenormatifan,keahlian, alih tangan kasus, dan tut wuri handayani.
Pelaksanaan layanan
bimbingan harus memenuhi fungsi-fungsi yang diantaranya yakni:
1.
Fungsi pemahaman
2.
Fungsi pencegahan
3.
Fungsi pemeliharaan dan pengembangan,
dan
4.
Fungsi advokasi (Th 2006)
B.
Layanan
Bimbingan
Kerangka kerja layanan
bimbingan dan konseling dikembangkan menjadi empat layanan utama, yakni Layanan
dasar bimbingan yaitu layanan umum yang diperuntukan bagi semua murid. Layanan
ini mengutamakan pada pengembangan perilaku dan kompetensi yang harus dikuasai
oleh siswa sesuai dengan tugas perkembangannya. Layanan ini juga disebut
sebagai kurikulum bimbingan yang merupakan inti dari program bimbingan
perkembangan. Tujuan dari layanan bimbingan ini adalah mengembangkan
keterampilan dasar siswa untuk kehidupannya di masa yang akan datang.
Selain itu ada layanan
responsive, yaitu layanan yang diarahkan pada upaya bantuan menyelesaian
masalah siswa yang sedang dihadapi saat itu. Oleh karena itu layanan responsive
mengandung layanan yang bersifat penanganan krisis, remediatif dan preventif.
Preventif dengan memberikan intervene terhadap murid agar mereka terhindar dari
pilihan yang tidak sehat atau membawa anak agar mampu menentukan pilihan pada
situasi tertentu.
Selanjutnya layanan
perencanaan individual yang didefinisikan Setiawati dan Chudari (2007) sebagai
“jenis layanan yang membantu murid dalam membuat rencana pendidikan, karier dan
social pribadinya.”Terakhir layanan evaluasi dan tindak lanjut yakni berupa
layanan penilaian untuk mengukur keberhasilan program bimbingan yang telah
dilaksanakan.
Ada bebrapa jenis
layanan bimbingan dan konseling diantaranya Orientasi, yakni pemberian layanan
pengenalan bagi peserta didik untuk memahami lingkungan barunya yakni sekolah
serta objek-objek yang dipelajari untuk menyesuaikan diri dan melakukan
peranannya dilingkungan yang baru. Informasi yakni layanan untuk membantu
peserta didik menerima dan memahami informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan
dan pendidikan lanjutan.
Penempatan dan
Penyaluran yakni layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan
penyaluran yang tepat didalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi,
program latihan dan kegiatan ekstra kulikuler. Penguasaan Konten yaitu layanan
yang diberikan pada peserta didik dalam membantu menguasai konten tertentu.
Bimbingan dan Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik
dalam mengentaskan masalah pribadinya. Bimbingan Kelompok, yakni layanan yang
membantu peserta didik dalam pengmbangkan pribadi, kemampuan hubungan social,
kehiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan
kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok. Bimbingan dan Konseling Kelompok,
yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan
masalah pribadi melalui dinamika kelompok.
Konsultasi, yaitu
layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh
wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam mengangani
kondisi dan masalah peserta didik. Terakhir Mediasi, yaitu layanan yang
membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan
antar mereka. Sedangkan pada kegiatan pendukung ada yang disebut Aplikasi
Instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan
lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik test maupun nontest.
Himpunan data, yakni kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan
peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis,
komperhensif, terpadu dan bersifat rahasia. Konferensi kasus yaitu kegiatan
membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusu yang dihadiri oleh
pihak-pihak yang dapat memberikan data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya
masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup. (Th. 2006)
0 komentar:
Posting Komentar