Pendidikan
Berbasiskan masyarakat pada (Comunity Based Education) intinya adalah
bahwa masyarakat yang menentukan kebijakan serta ikut berpartisipasi
dalam me-nanggung beban pendidikan, bersama seluruh ma-syarakat
setempat, tentang pendidikan yang bermutu bagi
anak-anak mereka. Dalam pengertian ini masyarakat tidak semestinya
menyerahkan seluruh pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah
semena-mena, tetapi ikut memikirkan serta bertanggung-jawab bersama
kalangan pendidikan akan berhasilnya pendidikan anak-anak mereka. Dengan
demikian, akan diharapkan tercipta hubungan yang harmonis antara
pendidikan dirumah dan pendidikan disekolah serta pendidikan diluar
sekolah.
Kata kunci: Pendidikan Berbasis Masyarakat (CBE), Mutu Pendidikan.
PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 dan GBHN
1993 mengamanatkan bahwa peran serta masyarakat, keluarga dan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan amat diperlukan. Ditekankan
dalam amanat tersebut bahwa segenap lapisan masyarakat, bangsa dan
negara Indonesia memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam semua
aspek pengelolaan pendidikan di semua jenis dan jenjang karena
pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah,keluarga dan
masyarakat.
Selain itu, krisis multidimensi yang
melanda Indonesia belakangan ini, memberi momentum terjadinya perubahan
mendasar dalam berbagai kehidupan, termasuk kehidupan pendidikan. Saat
ini, krisis multidimensi pengaruhnya terhadap kehidupan pendidikan amat
besar. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan daya dan dana pendidikan
amat menurun. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk melibatkan
masyarakat dan sekolah dalam mengelola pendidikan agar kualitas
pendidikan tetap optimal. Diharapkan, dengan adanya keterlibatan
masyarakat terhadap masalah pendidikan, mutu dan pemerataan pendidikan
di Indonesia dapat ditingkatkan.
Tiga Strategi Pelaksanaan Pengikutsertaan Masyarakat Dalam Masalah Pendidikan di Indonesia:
- Mereorganisasi sistem pemerintahan dalam administrasi dan keuangan.
- Melaksanakan Manajemen Berbasiskan Sekolah.
- Melaksanakan Pendekatan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat.
Tulisan ini hanya ditujukan pada salah
satu strategi dari tiga strategi yang digulirkan oleh pemerintah yang
diuraikan di muka yaitu “Pendekatan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat”
atau PBM. Pendekatan PBM ini secara khusus ditujukan untuk dapat
menghasilkan model:
- Yang dapat membantu pemerintah dalam pengerahan sumberdaya lokal dan eksternal.
- Yang dapat membantu pemerintah dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program pelatihan fungsional untuk anak putus sekolah dan pasca pendidikan menengah.
- Yang dapat menstimulasi perubahan sikap dan persepsi masyarakat dalam hal pemilikan sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.
- Yang dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kebijakan desentralisasi tentang dukungan masyarakat dan BP3 terhadap sekolah.
- Yang dapat mengembangkan kelembagaan inovatif untuk menambah, meningkat-kan, dan mengganti sub sistem pendidikan persekolahan guna peningkatan mutu dan relevansi manajemen pendidikan dasar dan pasca pendidikan dasar.
PEMBAHASAN
Pendidikan Berbasiskan Masyarakat
Pendidikan Berbasiskan
Masyarakat/Community Based Education (PBM) /(CBE) terdiri dari tiga
kata, yaitu pendidikan, berbasiskan dan masyarakat. Pendidikan adalah
pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Dalam
arti luas; artinya pendidikan yang diselenggarakan baik secara
sekolah/dulu biasa disebut formal, atau yang diselenggarakan sebagai
kursus/di luar sekolah, atau latihan/ magang untuk memperoleh
ke-terampilan, dahulu disebut non-formal, maupun pendidikan yang
dicontohkan dalam kegiatan-kegiatan dan/atau dituturkan di dalam budaya
masyarakat, sebelum ini disebut informal. Berbasiskan berarti
“berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Masyarakat adalah sebuah
kelompok yang hidup dalam daerah khusus (bisa bersifat
setempat/lokal/regional atau nasional) yaitu orang-orang yang memiliki
harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia walaupun
mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan
tanggungjawab.
Secara umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai penanaman modal jangka panjang yang harus mampu membekali anak didik untuk menghadapi masa depannya. Pendidikan harus mampu mencerahkan anak didik dari keadaan tidak tahu menjadi tahu. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu membuat anak didiknya berhasil dalam kehidupan. Dengan kata lain, bicara soal pendidikan adalah bicara soal kualitas kehidupan anak didik, soal kualitas sumberdaya manusia (SDM). Soal SDM ini, di abad-21 akan menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan bangsa lain. Persaingan dalam bentuk barang produksi, tenaga kerja, pariwisata dll akan muncul ke permukaan. Namun, yang menjadi persoalan
adalah sadarkah pemerintah atau bangsa Indonesia ini bahwa pendidikan
adalah kunci utama untuk menghadapi persaingan tersebut di muka? Adakah
komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menentukan bahwa
sektor pendidikan adalah faktor kunci bagi pembangunan bangsa dan
negara.
Bila dilihat dari komitmen pemerintah
Indonesia yang menempatkan pembiayaan pendidikan hanya sebesar 20 persen
dari rata-rata pendapatan nasional, kesadaran pemerintah Indonesia atas
masalah pendidikan harus diberi nilai merah. Rapor buruk ini haruskah
didiamkan saja atau masih adakah kepedulian bangsa ini terhadap masalah
pendidikan?
Beberapa Langkah Penanggulangan Masalah
Secara ideal, dunia pendidikan harus mampu berjalan beriringan dengan dunia luar. Akan tetapi kita juga tahu bahwa dengan komitmen pemerintah yang
buruk dalam hal dana pendidikan baik pada masa lalu dan masa kini maka
idealisme tersebut masih jauh dari impian. Karenanya beberapa loncatan
pemikiran untuk penanggulangan masalah tersebut harus dilakukan.
Berikut ada beberapa pemikiran yang menurut penulis dapat dilaksanakan pada masa dekade sekarang ini.
A. Partisipasi masyarakat
Salah satu pendekatan yang ada
hubungannya dengan partisipasi menyatakan bahwa manusia mempunyai
dinamika internal dan kapasitas yang tak terbatas untuk membantu dirinya
dan untuk berhubungan secara positif dengan lingkungannya, apabila
dikembangkan melalui perlakuan yang akurat dan dapat dipercaya. Selain
itu, partisipasi juga disadari memiliki banyak arti.
Partisipasi dapat berarti bahwa pembuat
keputusan mengikutsertakan kelompok atau masyarakat luas terlibat dalam
bentuk saran, pendapat, barang, keterampilan, bahan atau jasa.
Partisipasi juga dapat berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka
sendiri, mengkaji pilihan sendiri, membuat keputusan dan memecahkan
permasalahan mereka sendiri. Dalam konteks partisipasi, Illich (1983)
menyatakan bahwa rakyat biasa harus mampu bertanggungjawab atas
kepentingan dan kesejahteraan sendiri.
Oleh karena itu, rakyat harus diberi
kesempatan untuk ikut bertanggungjawab dalam semua bidang kehidupan baik
dalam bidang pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi, perencanaan
pembangunan dll. Sedangkan Paulo Freire (1973) menyatakan bahwa elit
pembuat keputusan harus menyadari pentingnya partisipasi masyarakat
dalam pengambilan kebijakan publik. Tolok ukur keotentikan pembangunan
ialah apakah rakyat yang sebelumnya hanya diperlakukan sebagai obyek
yang sekedar tahu dan melaksanakan, kini diajak untuk berpartisipasi
sebagai subyek aktif yang sadar dan bertindak secara aktif dalam
mencapai tujuan hidup sendiri. Bertitik tolak dari pandangan ini,
pemahaman tentang konsep partisipasi perlu diperluas tidak hanya
ditekankan dalam bentuk pemberian dana, barang sebagai masukan
instrumental, melainkan perlu dikembangkan pula berbagai bentuk
partisipasi lain seperti paritipasi dalam hal waktu, pemikiran dan
gagasan, kepercayaan dan kemauan.
Rugh dan Bossert (1998:141) menyatakan
bahwa masyarakat dan keluarga dapat diajak untuk berpartisipasi dalam
masalah pendidikan atau berinteraksi dalam dua belas langkah berikut
ini:
- Advocating enrollment and education benefits
- Ensuring regular students attendance and completion
- Constructing, repairing, and improving facilities
- Contributing in-kind labor, materials, land and funds
- Identifying and supporting local teacher candidates
- Making decisions about school location and schedules
- Monitoring and following up teacher and students attendance
- Forming education committees to manage schools
- Attending school meetings to know about children’s work
- Providing skill instruction to know about children’s work
- Helping children with studying
- Gathering more resources and solving problems through the education bureaucracy.
Kalau ditinjau secara pendekatan sistem
yang mempergunakan tiga aspek masukan, proses dan keluaran sebagai titik
pengkristalan, maka masukan PBM/CBE adalah peserta didik yang datang
dari masyarakat, proses pendidikan PBM/CBE terjadi di dalam masyarakat
itu, dengan masukan sumberdaya dan masukan lingkungan, asalnya terutama
dari masyarakat itu sendiri, serta keluarannya berlangsung di dalam
masyarakat itu. Yang ditekankan dalam hal ini adalah bahwa mestinya
tanggungjawab pendidikan masyarakat itu adalah masyarakat itu sendiri.
Masyarakat setempat adalah stakeholder utama dari pendidikan di tempat
itu. Masyarakat setempat bukan hanya sebagai penonton yang kadang-kadang
diundang dalam permainan. Mestinya mereka itu berhak untuk menjadi
pemain, bahkan menjadi pemain utama. Itu akan lebih jelas bila
dibandingkan dengan apa yang terjadi selama ini. Selama ini, pendidikan
seolah-olah adalah pendidikan Pemerintah, masyarakat hanyalah
klien/pelanggan belaka, ataupun dapat dikatakan konsumer pendidikan
sematamata. Masyarakat kadang-kadang dilibatkan, diundang ikut dalam
kegiatan pendidikan (community involvement), tetapi tidak berperan serta
(community participation). Memang selama ini pendidikan dapat dikatakan
semuanya terpusat. Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan
ditentukan dari pusat, sarana/prasarana ‘diberikan’ dari pusat, uangnya
ditentukan dari pusat; semuanya mau diseragamkan dari pusat. Yang
Terjadi adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak biasa
berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka. Sekolah
adalah sekolahnya Pemerintah, sekolahnya guru-guru, negeri atau swasta.
Yang dilematis adalah siapa yang disebut masyarakat itu. Di dalam
otonomi daerah, masyarakat diberi batasan masyarakat Kabupaten. Tetapi
tentu di dalam suatu negara kesatuan masyarakat kabupaten adalah bagian
dari masyarakat propinsi dan selanjutnya adalah bagian dari masyarakat
negara. Bangsa Indonesia bukanlah federasi masyarakat kabupaten, jadi
meskipun otonomi daerah menyebut otonomi daerah tingkat dua, itu
tidaklah berarti bahwa masyarakat kabupaten terpisah dari keseluruhan
masyarakat negara kesatuan. Pertanyaan sekarang di dalam CBE, apakah
yang menjadi tanggungjawab masyarakat setempat dan apa yang menjadi
tanggungjawab masyarakat nasional?. Hal ini yang harus menjadi
pergumulan bersama.
Berikut ini disajikan contoh indikator PBM/CBE yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal maupun nasional:
- Penurunan angka anak usia sekolah yang tidak bersekolah.
- Pengurangan ketimpangan antar wilayah atau antar kelompok sosial ekonomi dalam masyarakat.
- Pengurangan ketimpangan sebaran guru, sistem insentif, dan mutasi guru.
- Peningkatan sarana/prasarana pendidikan.
- Peningkatan Sosial ekonomi anak-anak lingkungan ekonomi rendah.
- Peningkatan kesadaran orangtua dalam hal membantu anaknya belajar.
- Peningkatan kesadaran anak akan daya tarik bidang studi tertentu.
- Peningkatan kemampuan guru dalam pendayagunaan alat dan sumber pendidikan.
- Pendokumentasian sumberdaya pendidikan.
- Penetapan kebutuhan sumberdaya pendidikan sesuai dengan identifikasi dan rumusan kebutuhan pendidikan setempat.
- Identifikasi perorangan, kelompok atau badan/lembaga yang potensial dengan berbagai jenis tertentu sumberdaya pendidikan.
Dalam hal tanggungjawab dapat diperiksa
kembali komponen dari sistem pendidikan. Tentu ada sistem pendidikan
lokal sekolah, kursus/pelatihan, yang dapat disebut sistem institusional
dan ada pula sistem pendidikan daerah tingkat dua dan selanjutnya
sistem pendidikan nasional. Sayangnya sampai sekarang yang sudah ada
UU-nya baru Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Dalam mewujudkan otonomi
pendidikan daerah, mestinya SPN tadi dilengkapi dengan UU baru atau UU
tentang Otonomi Pendidikan Daerah. Selama ini pendidikan yang
diselenggarakan swasta pun, masukan-masukannya masih ditentukan dari
pusat, hanya penyelenggaraannya, terutama pembiayaannya yang dipikul
hampir seluruhnya oleh penyelenggara pendidikan swasta tersebut. Di sini
letaknya kepelikan otonomi pendidikan dasar dan menengah itu. Ditambah
lagi dengan tiga jenjang persekolahan: pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi. Apakah semuanya diotda kabupatenkan?
Di dalam PBM/CBE seyogianya yang mengetahui kebutuhan pendidikan bagi warganya adalah masyarakat itu: berapa warganya yang harus ditampung di SD
dan SLTP atau Pendidikan Dasar, berapa yang harus ditampung di
pendidikan menengah, berapa yang perlu ditampung di dalam kursus-kursus
dan lain sebagainya. Berapa ruang yang diperlukan dan/atau berapa gedung
yang diperlukan dan di mana harus ditempatkan, berapa biaya yang
diperlukan, berapa guru dan tenaga lain yang dibutuhkan seharusnya lebih
diketahui oleh masyarakat setempat. Tentu untuk itu semua diperlukan
data dan informasi yang akurat. Dengan demikian diperlukan selain
perangkat dinas juga dibutuhkan suatu perangkat di dalam masyarakat yang
menetapkan kebijakan untuk kebutuhan-kebutuhan di atas, di samping
dinas yang ditugasi untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan yang
ditetapkan oleh masyarakat.
Yang menjadi masalah paling pelik adalah
tanggung jawab keuangan. Meskipun disebut otonomi pendidikan termasuk di
dalam otonomi daerah tingkat dua, namun harus dikatakan bahwa
pendidikan sebenarnya adalah tanggungjawab bersama sebagai bangsa.
Sebagai bangsa kita bertekad untuk mengadakan wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun bagi semua warga. Itu berarti tidak hanya bagi
daerah/masyarakat yang mampu, tetapi juga bagi daerah yang kurang
kapasitasnya untuk itu. Dengan demikian diperlukan suatu mekanisme di
mana yang kaya membantu yang lemah; mungkin inilah yang harus pula
termasuk ke dalam perimbangan keuangan di antara pusat dan daerah.
Apakah itu diatur dengan alokasi umum atau alokasi khusus. Apakah grant
berdasar jumlah siswa atau jumlah penduduk dan luas daerah; apakah untuk
semua peserta didik ataukah hanya yang di negeri saja?.
Di sini akan disebut beberapa kegiatan
yang perlu diperhatikan oleh masyarakat untuk dapat menyelenggarakan
PBM/CBE dalam hal perencanaan:
- Masyarakat seharusnya dapat melaksanakan apa yang diistilahkan sebagai ‘micro planning’, artinya tidak lagi berencana sebagai orang pusat yang tentunya berencana secara kasar untuk daerah, ‘macro planning’ ;
- Harus punya data penduduk dengan umur yang sangat terpercaya;
- Harus dapat mengidentifikasi potensi sumberdaya dan dana yang tersedia;
- Seharusnya punya tenaga yang punya kemampuan untuk merencanakan pendidikan di daerah. Perencanaan pendidikan di daerah dengan wilayah yang lebih sempit (micro planning) tidak lebih mudah dari perencanaan makro. Di sini dibutuhkan lebih banyak variabel untuk menyusun rencana yang sungguh tepat memenuhi kebutuhan. Sebenarnya perencanaan pendidikan dapat pula memberi sumbangan kepada perencanaan wilayah, misalnya penentuan sebuah desa, kecamatan dan seterusnya. Ambil contoh; mestinya sesuatu desa yang normal harus punya 1 SD, pada hal sebuah SD normal seharusnya punya 180 sd 300 murid. Jika suatu desa hanya punya 200 KK, maka sukar untuk dapat ditetapkan sebagai satu desa. Demikianpun untuk sebuah kecamatan seharusnya mempunyai paling tidak sebuah SLTP yang diberi masukan peserta didik paling kurang dari 5 SD; jadi sesuatu kecamatan yang mempunyai hanya 3 desa tentu tidak efisien, dan seterusnya. Di samping itu diperlukan apa yang disebut ‘educational mapping’ untuk sesuatu kecamatan atau kabupaten untuk sungguh-sungguh dapat membuat pendidikan di daerah tersebut efisien dan bermutu.
Educational mapping dapat
disamakan dengan perencanaan tata ruang pendidikan; setelah mengetahui
jumlah dan umur penduduk, juga digambarkan persebaran penduduk dalam
desa tersebut; digambarkan pula jalan-jalan yang menghubungkan
persebaran penduduk; diperkirakan di mana akan diletakkan SD. Kemudian
dilihat situasi kecamatan, di mana akan diletakkan SLTP, berapa feeder-school
SD yang diperlukan untuk setiap SLTP; berapa SLTP yang perlu dibangun;
kemudian diperhatikan situasi Kabupaten dan ditentukan berapa SM (Umum
dan Kejuruan) dibutuhkan dan di mana akan ditempatkan. Semua kegiatan
ini dilakukan untuk mengoptimalkan efisiensi serta mutu dari pendidikan.
Karena itu dibutuhkan sumber daya dan dana, serta diperlukan
standar-standar pendidikan untuk dapat mencapai mutu yang diharapkan.
Menjadi persoalan besar bagi daerah, apakah SD yang terlalu banyak
dengan murid terlalu sedikit perlu digabung demikian seterusnya,
sehubungan dengan efisiensi dan mutu pendidikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pendidikan Berbasiskan
Masyarakat/Community Based Education (PBM)/(CBE) terdiri dari tiga kata,
yaitu pendidikan, berbasiskan dan masyarakat. Pendidikan adalah
pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Dalam
arti luas; artinya pendidikan yang diselenggarakan baik secara
sekolah/dulu biasa disebut formal, atau yang diselenggarakan sebagai
kursus/di luar sekolah, atau latihan/ magang untuk memperoleh
keterampilan, dahulu disebut non-formal, maupun pendidikan yang
dicontohkan dalam kegiatan-kegiatan dan/atau dituturkan di dalam budaya
masyarakat, sebelum ini disebut informal. Berbasiskan berarti
“berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Masyarakat adalah sebuah
kelompok yang hidup dalam daerah khusus (bisa bersifat
setempat/lokal/regional atau nasional) yaitu orang-orang yang memiliki
harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia walaupun
mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan
tanggungjawab.
Kegiatan yang perlu diperhatikan oleh masyarakat untuk dapat menyelenggarakan PBM/CBE dalam hal perencanaan:
- Masyarakat seharusnya dapat melaksanakan apa yang diistilahkan sebagai ‘micro planning’, artinya tidak lagi berencana sebagai orang pusat yang tentunya berencana secara kasar untuk daerah, ‘macro planning’ ;
- Harus punya data penduduk dengan umur yang sangat terpercaya;
- Harus dapat mengidentifikasi potensi sumberdaya dan dana yang tersedia;
- Seharusnya punya tenaga yang punya kemampuan untuk merencanakan pendidikan di daerah. Perencanaan pendidikan di daerah dengan wilayah yang lebih sempit (micro planning) tidak lebih mudah dari perencanaan makro. Di sini dibutuhkan lebih banyak variabel untuk menyusun rencana yang sungguh tepat memenuhi kebutuhan.
Saran
Pendidikan seringkali dipandang sebagai penanaman modal jangka panjang yang harus mampu membekali anak didik untuk menghadapi masa depannya. Pendidikan harus mampu mencerahkan anak didik dari keadaan tidak tahu menjadi tahu. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu membuat anak didiknya berhasil dalam kehidupan. Dengan kata lain, bicara soal pendidikan adalah bicara soal kualitas kehidupan anak didik, soal kualitas sumberdaya manusia (SDM). Soal SDM ini, di abad-21 akan menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan bangsa lain. Persaingan dalam bentuk barang produksi, tenaga kerja, pariwisata dll akan muncul ke permukaan. Namun, yang menjadi persoalan
adalah sadarkah pemerintah atau bangsa Indonesia ini bahwa pendidikan
adalah kunci utama untuk menghadapi persaingan tersebut di muka? Adakah
komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menentukan bahwa
sektor pendidikan adalah faktor kunci bagi pembangunan bangsa dan
negara.
Daftar Pustaka
Laporan Bank Dunia: Education in Indonesia. (2003, September). From Crisis to Recovery.
Lembaga Pengembangan Manajemen Pendidikan. (2004). Model dan pedoman Peningkatan Partisipasi Masyarakat Untuk Pembangunan Pendidkan. Jakarta: LPPM
Makalah Konperensi Pendidikan Indonesia Mengatasi Krisis Menuju Pembaruan. (2006, February). Jalan Menuju Pembaruan Pendidikan: Sebuah Pendekatan Berdasarkan Kebutuhan Masyarakat, Jakarta
Media MNPK NO. 6 TH. XX. (April 2000-Mei 2000). Manajemen Berbasiskan Sekolah di tingkat Pendidikan Dasar; oleh Jiyono.
Regional Educational Development and Improvement Project (Redip). (2002, November): Interim Report 1. Jakarta.
Reports to Unesco of the Internatinal Commission on Education for the Twenyfirst Century (2004). Learning The reasure Within.
0 komentar:
Posting Komentar